Selamat Datang Sobat, Jangan Lupa Tinggalkan Jejak ya... ^_^
Monarch Butterfly 2

Rabu, 02 April 2014

Malaikat Itu Ku Panggil Ibu



           http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2012/06/1339788723167005797_300x300.jpg 
             Aku hanya bisa menatap nanar wanita yang terbaring lama di ranjang ini dengan belalai-belalai medis dan monitor yang menyala dengan gambar garis – garis bergerak bak kurva secara perlahan yang menandakan masih adanya sebuah kehidupan.
            Aku genggam tangan wanita yang telah merawatku selama ini, dingin. Tak lagi hangat sebagaimana dulu ia sering membelai rambutku semasa kecil. Air mataku mungkin sudah mongering, sujud – sujud panjang pun selalu ku tunaikan berharap ada sebuah keajaiban dari-NYA untuk wanita berusia senja yang ku panggil ia ibu. 
              “Mas..istirahat dulu. Sejak kemarin mas belum tidur, biar Ratih yang gentian menajaga ibu ya” Seorang gadis remaja menyentuh pundakku.
           “Mas masih ingin di sini menemani ibu, jika sewaktu – waktu ibu bangun mas ingin ada disampingnya” Jawabku lesu dan Ratih menyerah
            Setiap waktu sehabis menunaikan shalat tak lupa aku selalu mengaji disampingnya, aku tahu bahwa ibu mendengarnya. Ayat – ayat yang ku lantunkan bahkan setiap curahan hatiku aku selalu bercerita pada ibu meski tak sedikitpun ibu memberikan respon gerak tubuhnya.
            Genap tiga bulan ibu koma, pagi ini aku menjaga ibu sendiri lagi karena Ratih harus kuliah dan Rani pun harus ke sekolah mempersiapkan diri untuk ujian akhir yang akan di hadapinya beberapa bulan lagi. Entah sudah berapa lama aku cuti kerja aku hanya tak ingin sedikitpun meninggalkan ibu. Aku takut sesuatu hal terburuk terjadi ketika aku tak ada di sampingnya.
                 Aku menggenggam tangan ibu dan bicara sebagaimana biasanya
            “Ibu..Safana sudah mengingatkan aku tentang rencana pernikahan kami yang tertunda. Keluarga besarnya mendesak untuk meminta kepastian dari aku, tapi bagaimana aku bisa melaksanakan pernikahan sedangkan ibu dalam keadaan seperti ini. Apa yang harus aku lakukan bu ?” Setetes air mataku membasahi sudut mata.
            Ibu tetap terdiam dalam tidur panjangnya hanya monitor disamping ranjangnya yang berbunyi perlahan. Aku menelungkupkan kepalaku di ranjang ibu hingga tanpa kusadari aku terlelap dan kedatangan Ratih yang membuatku terbangun.
         “Mas…maaf jadi mengganggu tidurnya. Ini Ratih bawakan makan siang” Ratih menyerahkan sebungkus nasi beserta lauknya kepadaku
                 “Terima kasih Ratih, tapi mas tidak lapar. Simpan saja dulu nanti buat Rani” ucapku
            “Rani sudah makan. Ini buat mas, dari semalam mas hanya baru makan sekali” Ratih mengambil sebuah kursi dan duduk di sampingku “Mas…jangan menyiksa diri, ibu pasti akan sedih melihat keadaan mas yang seperti ini. Mas makan dulu ya…setelah itu istirahat” Ratih terus membujuk dan akhirnya aku menyerah oleh adikku, meskipun kurang nafsu untuk makan aku harus memberikan nutrisi pada tubuhku, aku tidak ingin ibu sedih. Setengah memaksa Ratih menyuruhku untuk istirahat di rumah dan karena kondisiku pun agak drop selama beberapa hari di rumah sakit aku pun menuruti permintaan Ratih.
            Selama semalaman aku tidak bisa tidur, selalu terbesit rasa khawatir terhadap ibu. Di rumah sederhana yang aku beli khusus untuk ibu sejak beberapa tahun terakhir ini terukir semua kenangan di setiap sudutnya. Di ruang keluarga tempat kami biasa berkumpul aku tak sanggup lagi menahan gejolak perasaan, dalam isak aku menangis teringat sesalku atas baktiku yang belum sempurna terhadapnya.
               Rani datang memelukku “Mas…kita semua sedih dengan keadaan ibu. Tapi mas jangan seperti ini, kita doakan saja semoga kondisi ibu semakin membaik” Rani mencoba menenangkanku
                Sesaat kemudian ponselku berbunyi, ku tatap layarnya tertulis nama Ratih. Tiba-tiba saja perasaan khawatir menyergapku, aku segera mengangkat telepon yang terus berbunyi
              “Iya..Ratih. Ada apa dengan ibu ?” tanyaku khawatir
            “Mas..maaf Ratih mengganggu. Dokter ingin bicara perihal keadaan ibu, mas bisa ke Rumah Sakit sekarang ?” tanya Ratih
              “Iya..mas akan segera sampai 30 menit lagi”
              “Mas hati-hati bawa motornya” Ratih berpesan sebelum menutup teleponnya
            Aku pergi kembali ke Rumah Sakit dengan ditemani Rani karena ia memaksa untuk ikut serta. Setibanya di Rumah sakit aku segera menemui dokter yang menangani ibu di ruangannya dan Rani menemui Ratih di ruang ICU.
               “Pagi dok…” Sapaku pada dokter separuh baya di hadapanku
            “Pagi. Oh..Pak Wisnu, silakan duduk” Dokter menyuruhku duduk “saya cukup berat sebenarnya menyampaikan ini, selama perawatan dengan bantuan alat-alat medis, kami tidak melihat kemajuan yang signifikan terhadap keadaan ibu anda. Kami tim dokter memutuskan untuk melepaskan alat-alat medis tersebut, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, kondisi hati ibu anda sudah cukup parah. Kami mohon maaf Pak Wisnu” to the point dokter menyampaikan hal itu yang terang saja membuatku drop
            Setelah penandatanganan surat persetujuan, alat-alat medis pun di lepaskan selang beberapa jam setelahnya ibu menghembuskan nafas terakhir meninggalkan segala ke fanaan dunia. Kami tak sanggup lagi menahan duka, bahkan Rani pingsan karena kesedihannya.
           Usai dikafani dan disholatkan, jenazah ibu dikebumikan. Air mata tak henti mengalir membasahi wajah kami. Usai prosesi pemakaman kami pun segera kembali ke rumah, di sana sudah ada Safana yang menemani para pelayat yang datang silih berganti.
           Kini, satu minggu telah berlalu. Tak ada lagi senyum, tak ada lagi kasih sayang dan kehangataan seorang ibu yang selalu menjadi tempat kami bermanja. Pada dasarnya aku bukanlah laki-laki cengeng yang sangat mudah mengeluarkan air mata, namun ketika menyangkut suatu hal tentang ibu aku tak mampu menahan perasaan mendung di hati yang bergejolak. 
           Ibu adalah seorang wanita tegar yang memiliki kelambutan hati yang luar biasa. Ia harus membesarkan kami ketiga orang anaknya seorang diri karena laki-laki yang aku sebut Bapak itu meninggalkan Ibu dengan perempuan lain saat usia kami masih sangat belia, di saat usiaku baru 12 tahun.
            Susah payah ibu bekerja serabutan demi kami anak-anaknya untuk tetap bisa makan dan mengenyam pendidikan yang terbaik. Mulai dari berjualan gorengan yang dititipkan ke warung-warung, berjualan kopi hingga yang aku tahu baru terakhir belakangan adalah ibu pernah menjadi kuli cuci tetangga yang di lakukannya secara sembunyi – sembunyi .
            Semenjak Bapak pergi dari rumah kontrakan kami yang dulu, ia tak pernah lagi kembali dan semua tanggungan jatuh ke ibu. Entah sudah beberapa kali kami pindah-pindah kontrakan. Kami pun pernah berusaha untuk menemui Bapak di rumah barunya yang megah, namun yang kami dapatkan hanya hinaan dari istri barunya dan tak sekejap pun Bapak mau menemui kami.
           Sejak saat itu kami tumbuh dan berkembang tanpa sosok seorang laki-laki yang harusnya mengayomi keluarga, ibu pun hidup sebagai single parent namun meski begitu kami tak sedikitpun kurang perhatian karena ibu melimpahi kami kasih sayang yang sangat besar.
            Suatu hari, saat itu menjelang kelulusan Sekolah Menengah Atas. Aku yang memang terpilih menjadi salah satu siswa berprestasi memiliki kesempatan mengikuti ujian perguruan tinggi negeri lebih dahulu dibandingkan dengan teman lainnya. Ketika itu bahkan aku sudah berpotensi masuk di perguruan tinggi negeri terbaik di kota ini, namun aku tak banyak berharap dengan kondisi kami saat itu. Tapi ibu membakar lagi semangatku untuk melanjutkan pendidikan.
            “Kamu harus kuliah, jangan berhenti untuk belajar. Masalah biaya kamu tidak perlu khawatir, Ibu masih bersama kamu nak” ucap ibu saat itu
               “Tapi, Ratih dan Rani pun butuh biaya banyak bu”
            “rezeqi itu sudah ada yang mengatur dengan baik. Tinggal kita sebagai manusia berusaha sebaik-baiknya di jalan yang di ridhai-NYA. Insya Allah akan selalu ada jalan”
            Beruntungnya Ratih dan Rani pun menjadi murid berprestasi di sekolahnya hingga beban ibu sedikit terbantu dengan beasiswa yang di dapat mereka. Akupun akhirnya melanjutkan pendidikan di sebuah perguruan tinggi ternama. Aku tak ingin berdiam diri melihat ibu banting tulang sendirian, aku berusaha mencari pekerjaan di sela-sela padatnya jadwalku sebagai mahasiswa.
         Aku bekerja di sebuah surat kabar ternama berskala nasional sebagai penulis freelance, dan penghasilannya cukup lumayan sehingga secara perlahan kehidupan kami pun merangkak membaik. Hingga akhirnya aku lulus sebagai lulusan berpredikat comloud dan di terima bekerja di sebuah perusahaan nasional.
            “Ibu bangga nak sama kamu. Sebagai seorang kakak kamu memberikan contoh yang baik untuk adik-adikmu.” Ucapan ibu yang membuatku begitu bahagia saat disela-sela pemotretan wisudaku
          Beberapa tahun bekerja, sedikit demi sedikit penghasilan aku tabung hingga kemudian berhasil mempersembahkan sebuah rumah sederhana ini untuk ibu. Betapa bahagianya ia kala itu, bahkan sampai meneteskan air mata haru.
               “Ibu bahagia sekali dikaruniakan anak-anak yang luar biasa seperti kalian” ucap ibu memeluk kami bertiga
               Aku pun memperkenalkan wanita yang ingin ku persunting, dan aku lihat ibu pun sangat menyukai Safana. Tak lama berselang kami pun merencanakan pernikahan setelah pertemuan dua pihak keluarga.
            Satu bulan menjelang acara sakral itu ibu jatuh sakit, tak sadarkan diri dan mengalami koma sekian lamanya. Itulah sebabnya mengapa aku begitu terpukul atas sakitnya ibu, karena ibu tak pernah mengeluhkan sedikitpun sakit di hadapan kami.
            “Wisnu….kamu harus ikhlaskan kepergian Ibu. Beliau sudah tenang dan bahagia di sana. Apa kamu ingin Ibumu bersedih ? karena melihat anak yang di banggakannya seperti ini. Jika seperti ini terus kamu bisa sakit. Makan lah sedkit setidaknya perutmu harus terisi” Safana terus membujuk ku untuk makan setelah Ratih dan Rani tidak berhasil meruntuhkan kerasnya pendirianku “Aku sudah membuatkan makanan kesukaanmu, soto ayam. Aku akan sangat kecewa sekali jika kamu tidak mau memakannya” akupun luluh, dan menyantap sajian di hadapanku meskipun dengan tidak semangat.
            “Ibu adalah malaikat bagi kami, yang memberi kehangatan dan kasih sayang tak ternilai. Aku merasa gagal sebagai seorang anak. Aku merasa tidak berguna, bagaimana mungkin aku sampai tidak tahu ibu telah menahan sakitnya sekian lama. Jika saja di tindak lanjuti lebih awal mungkin tidak begini jadinya” Sesalku, aku ceritakan pada Safana yang tak pernah meninggalkanku meskipun dalam keadaan berduka
            “itu bukan salah kamu. Ibu terlalu sayang dengan kalian, hingga ia tidak mau kalian khawatir dengan sakitnya” Safana berucap lembut “Sudah setengah tahun kepergian ibu, kamu harus mengikhlaskannya. Allah lebih menyayangi ibu sehingga ia berada di sisi-Nya kini”
               Aku terdiam cukup lama. Merenungi ucapan Safana.
            “Iya kamu benar. Raga ibu sudah tidak bersama kita, namun kenangannya tetap abadi di hati kita masing-masing” ucapku tersenyum
            “Sesungguhnya kita hidup di dunia ini hanya sementara, tinggal menunggu giliran kembali ke rumah abadi. Segala sesuatu yang bernyawa akan mengalami mati, dan segalanya akan kembali kepada pemilik-NYA” Safana berkata bijak
            “Mas…ayo shalat berjama’ah. Sudah masuk waktu Ashar” Rani mengingatkan kami, dan kami pun menyudahi pebincangan sore itu.
# T A M A T #

2 komentar:

Unknown mengatakan...

ini cerpen apa beneran bos, tapi mengharukan sekali bos...

Siti Nurjanah mengatakan...

Cerpen Mas Bro..yang terinspirasi dari kisah nyata seseorang :)

Terima kasih untuk apresiasinya ^_^