Laman

Selasa, 09 Juli 2013

Ibu Dan Anak Istimewa

            Pagi ini bus yang ku tampangi tiba di kampung halaman. Ahh, sudah lama sekali rasanya tidak merasakan kesejukan seperti ini. Penatnya ibu kota membuat aku selalu merindukan suasana asri dari kampung ini. Dengan tas ransel di pundak aku memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar sebelum akhirnya aku kembali ke kediaman orang tua ku.
            Meskipun desa ini masih terlihat asri, bukan berarti tak mengalami kemajuan. Beberapa pabrik sudah berdiri di sudut jalan sana, jalanan yang dulu rusak pun kini sudah mulus beraspal. Kendaraan bermotor pun mulai menyemaraki jalan,meskipun tak sepadat di kota-kota besar. Masih banyak orang yang berjalan kaki untuk  ke ladang dan sawahnya.
            Di Sebuah aliran sungai, aku bermain sebentar membasuh muka. Sejuk rasanya. Namun, tiba-tiba aku tertarik dengan aktifitas seorang ibu dan anak yang terlihat sangat akrab, ibu muda itu begitu penuh kasih membasuh dan mengajak bermain putranya dan kalau menurut perkiraanku anak se usia itu seharusnya menghabiskan waktu bermain bersama teman-temannya. Ku perhatikan dengan seksama, sepertinya aku pernah mengenal wajah lembut itu. Oh, Tuhan..aku benar-benar mengenalnya, dialah sahabatku Puspa.
            “Puspa…” Panggilku
Dari wajahnya terlihat ia kebingungan seperti mengingat-ingat sesuatu. Aku segera mendekatinya, memeluknya melepas kerinduan yang telah lama tidak berjumpa.
            Dengan ragu puspa memanggil namaku “Kartika”
            “Iya..aku Kartika” Jawabku senang
            Ia memelukku kembali kali ini lebih lama, Puspa menangis.
            “Aku minta maaf tidak di sampingmu di saat-saat tersulitmu, kamu harus melaluinya sendiri. Maafkan aku” Aku pun tak mampu mebendung air mata bersalahku
            Puspa melepaskan pelukannya
            “Kamu tidak salah, aku mengerti dengan kesibukanmu di kota sana”
            Si anak laki-laki itu hanya menatap kososng ke kami, ku sentuh wajahnya
            “Ini pasti Akbar kan?? Garis wajahnya mewarisimu”
            “Iya..dia anakku, Akbar usianya sudah 10 tahun. Oh,ya..kita lanjut cerita dirumahku saja.”
            Puspa segera menggandeng Akbar dan membawa bakul yang berisi pakaiannya yang telah di cuci.
            “Biar aku bawakan pakaianmu” tawarku
            “Nda usah…kamu sudah kerepotan dengan ransel besarmu” Jawabnya dengan senyum manis
            Puspa dan Akbar berjalan di depanku, dalam hati ku berujar “Puspa..kamu begitu kuat. Ujian yang kamu terima begitu besar namun dengan kebesaran hatimu kamu masih bisa tetap melaluinya dengan senyum. Entah jika itu terjadi padaku,mampukah aku setegar dirimu”
            Aku dan Puspa berbicang di ruang tamu sekaligus kamar tidurnya, ruangan ini begitu kecil sehingga wajarlah jika meja persegi dengan empat kursi ini di sekati gorden sebagai pemisah dengan ruang tidurnya. Sedangkan Akbar terduduk di sudut tempat tidur dengan pandangan kosong, ia bermain dengan bola plastiknya.
            Siapapun bisa menilai bahwa Akbar tumbuh tidak seperti anak-anak pada umumnya. Ia Autis dan ada semacam ganngguan penyakit di saraf dan otaknya, skizofrenia begitu keterangan mahasiswa kedokteran yang KKN di desa ini. Skizofrenia bisa berarti keterpeceahan atau keterbelahan pikiran disebut demikian sebab si penderita hidup dalam dua alam yaitu alam fantasi dan alam nyata. Masalahnya adalah si penderita tidak selalu dapat membedakan kedua alam ini.
            Aku menggenggam tangan Puspa “Ada apa dengan kehidupan rumah tanggamu?? kenapa Sigit tidak di sampingmu??”
            Puspa berusaha menyimpan dukanya dalam senyuman “Kamu pasti sudah mendengar apa yang terjadi kan? Tapi baiklah aku akan menceritakannya. Dua tahun menikah, aku belum memberikan Sigit dan keluarganya keturunan, sampai kemudian ibu mertuaku memaksaku untuk mengizinkan Sigit menikah lagi karena ia sudah sangat mendambakan seorang cucu. Meskipun berat beberapa bulan setelah itu aku mengizinkannya untuk dimadu, tapi justru Sigit menolaknya. Ia beralasan sangat mencintaiku dan masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperoleh keturunan. Tentu saja aku bahagia mendengar pernyatan itu, waktu bergulir hingga menjelang pernikahan menginjak ke tahun ke tiga, Tuhan menjawab doaku. Dalam rahimku hidup seorang janin yang sangat kami nanti dan dambakan kehadirannya.Kami sangat bahagia saat itu, hingga..” Air mata Puspa jatuh tak terbendung
            Aku menggenggam tangannya menguatkan “tidak usah dilanjutkan..”
            Jeda kediaman terjadi diantara kami, akupun tak tahu apa yang mesti aku lakukan selain memeluknya. Ketika sudah mulain tenang Puspa melanjutkan ceritanya “Pada usia kandunganku menginjak tujuh bulan ada kendala dalam janinku, dokter memberi pilihan yang cukup sulit padaku. Aku harus menggugurkan janin itu atau ia akan terlahir tidak normal. Aku masih percaya akan sebuah keajaiban, aku mempertahankan janin itu terlahir ke dunia. Lalu kemudian dilakukanlah operasi Caessar untuk mengeluarkan bayiku. Dan Seperti inilah keadaan Akbar, ia terlahir istimewa. Namun keluarga besar Sigit tidak dapat menerima keadaan Akbar, mereka menyuruhku untuk menitipkan Akbar di panti asuhan saja. Itu sangat tidak mungkin aku lakukan, bagaimana mungkin aku tega membuang darah dagingku sendiri. Tapi dari semua yang kualami adalah dimana pengkhianatan Sigit dalam pernikahan kami. Ternyata satu tahun setelah kami menikah, Sigit melakukan hubungan terlarang dengan rekan kerjanya dan suatu hari seorang wanita datang ke kediaman kami membawa balita perempuan, ia datang menuntut pertanggung jawaban Sigit, anak perempuan yang dibawa nya telah menginjak usia dua tahun. Aku melihat rona bahagia di mata ibunya Sigit, dengan seketika ia langsung menggendong balita itu. Jujur itu cukup menykitkan untuk ku. Semenjak kelahiran Akbar, ia bahkan tak pernah menggendongnya. Hingga akhirnya mereka mensahkan pernikahan Sigit dan wanita itu, sedangkan terhadapku mereka memberi pilihan aku masih bisa menjadi bagian dari keluarga itu jika bersedia mengasingkan Akbar sejauh-jauhnya.”
            Wajah Puspa sudah penuh air mata, sebagai seorang wanita aku bisa merasakan kepedihannya. Kami saling berdiam beberapa saat.
            “lalu kemudian Sigit melayangkan surat cerai itu, mereka mengusirku dari kehidupan mereka” Puspa menuntaskan kisahnya
            Tiba-tiba Akbar berteriak-teriak, ia menjerit ketakutan sontak kami yang tak berada jauh darinya segera menghampirinya.
            Puspa segera memeluk putranya, ia berusaha menenangkannya. Akbar masih tetap meronta ia berteriak berusaha membenturkan kepalanya, Puspa menahan tubuhnya ia terus memeluknya
            “Kartika tolong ambilkan obat didalam lemari, dibaris ke-dua” pinta Puspa
            Aku segera sigap mengambil obat yang diminnta Puspa dan segera memberikannya bersama air putih. Puspa Berusaha memasukan obat itu ke dalam mulut Akbar, setelah terpastikan tertelan beberapa saat kemudian Akbar mulai sudah agak tenang.Tak lama setelahnya Akbar tertidur, dalam lelapnya ia begitu polos tanpa dosa mungkin ia tak benar-benar memahami apa yang tengah terjadi pada hidupnya. Puspa terdiam membelai rambut Akbar, “Aku hampir putus asa manghadapi semua ini. Terkadang aku lelah, sejujurnya aku juga ingin melihat putraku tumbuh normal, bersekolah, berlari,bermain layang-layang bersama kawannya, membantu di ladang… tapi ia tumbuh berbeda aku sudah melakukan dan berusaha semampuku untuk kesembuhannya.” Puspa meratap.
            Baru kini kulihat sahabatku yang dulunya begitu periang, berduka teramat dalam seperti ini. Aku mengira kehadiran Sigit, laki-laki keturunan ningrat itu akan mampu membahagiakannya. Namun, kenyataan yang kusaksikan kini ia dan keluarganya menelantarkan Puspa dan Putranya yang memang terlahir istimewa.
            “Puspa..Tuhan menitipkan Akbar padamu karena DIA tahu kamu mampu membesarkannya dengan baik. Tuhan memilihmu sebagai wanita dan orang tua pilihan. Aku yakin di dalam hatinya, Akbar pun bangga memiliki ibu sepertimu”  Aku coba mensupportnya
            Puspa menangis “iya..aku tahu, tapi di hati kecil ini ingin rasanya kudengar panggilan ibu dari mulut Akbar. Selama ini ia hanya mampu bergumam dan berteriak-teriak. Naluriku sebagai seorang ibu merasakan sakit yang ia rasakan, kamu lihat luka ini. Karena kecerobohanku ia hampir saja mengakhiri hidupnya karena rasa ketakutan yang tidak berkesudahan itu.” Ungkap Puspa menunjukan sayatan panjang di pergelangan tangan Akbar
            Aku miris, menelan ludah aku tak tahu bagaiman cara membantu sahabatku ini. Tuhan, mengapa cobaan yang Engkau beri pada Puspa begitu beratnya.
            “Hmm..maafkan aku. Harusnya aku tak seperti ini, sudah lama kupendam ini sendirian. Terima kasih Kartika kamu mau mendengarkanku” Puspa menghapus air matanya
Aku memeluknya, dalam hati aku berjanji aku akan membantumu sahabatku, semampuku.
            “Puspa..sepertinya aku sudah harus pulang. Ibu pasti mengkhawatirkanku karena anak gadisnya ini belum juga sampai di rumah” Ucapku
            “Oh..iya tentu saja..terima kasih kamu mau datang dan mendengar keluhanku. Titip salam untuk ibumu” Ucap Puspa
            Akupun berpamitan,
            “Selama aku masih di sini aku akan menemanimu” Aku berjanji
            “Terima Kasih” ucap Puspa dengan tersenyum
            Setibanya aku tiba di kediaman orang tuaku, aku pun disambut hangat oleh ibu yang sudah cemas menungguku di teras.
            “Kamu kemana sich nduk…katanya sudah tiba dari pagi tapi kenapa sesiang ini baru ke rumah” Cecar ibu dengan nada khawatir
            “Tadi aku berkeliling dulu bu..kangen sama desa ini, terus ketemu Puspa..lalu aku mampir ke tempatnya. Aku kasihan bu dengannya” Jawabku
            “Iya..malang benar nasinb anak itu. Ya sudah kamu istirahat dulu sana” Perintah ibu
            “Siaaappp Kanjeng Mami” aku bersikap dengan tanda hormat mencandainya
            “kamu ini…” Ibu mencubit dengan kasihnya
            Esok paginya, aku berlari pagi berkeliling lalu seperti janjiku aku datang menemui puspa. Dari kejauhan sudah kulihat ia duduk bersama Akbar. Aku mulai mendekati mereka. Puspa sedang menceritakan sebuah kisah Abu Nawas dan terlihat dari gurat wajah putra terkasihnya ia bahagia mendengar cerita sang ibu. Tuhan, Akbar pun tak bisa bicara hanya gumaman yang keluar dari mulutnya namun senyuman dan tawa polosnya memberikan kerekahan dan kebahagian tersendiri untuk puspa.
            “Kartika…sejak kapan??aku tidak menyadari kedatanganmu” Tanya Puspa
            “Semenjak cerita Abunawas tadi…” jawabku tersenyum “Hai..Akbar” sapaku
            Akbar tersenyum malu-malu
            “Darimana?? “ Tanya Puspa
            “Hanya berkeliling menikmati suasana pagi di kampung, embun pagi masih terasa kesejukannya” Aku duduk di samping Akbar
            Saat kami berbincang, tak jauh dari tempat kami, Akbar asyik dengan aktifitasnya. Ia terlihat menggores-goreskan pensil warna di atas sebuah buku gambarnya. Lalu ia menyerahkan lembaran itu Pada Puspa. Puspa Menangis terharu ia segera memeluk putranya “Ibu juga sayang sama Akbar” Ucapnya
            Aku lihat lembaran gambar itu, tertera sebuah gambar seorang ibu dan seorang anak laki-laki dibawahnya tertulis ‘AKBAR SAYANG IBU’, sebuah ungkapan jujur yang terasa begitu istimewa“Akbar bisa menulis dan menggambar??” tanyaku pada Puspa
            “Aku selalu berusaha melatih kemampuan motoriknya,, meskipun semua sekolah umum menolak ia belajar di tempatnya aku percaya bahwa Akbar bisa, aku berusaha untuk mengajarinya dan melatihnya” Jawab Puspa
            “Kamu sungguh seorang ibu yang luar biasa” Aku mengagumi kegigihannya “Aku punya kabar bahagia untukmu. Setelah aku mencari-cari informasi, di ibu kota sana ada dokter yang bisa membantu Akbar, Ia sudah sering menangani kasus anak yang dialami seperti Akbar dengan theraphy rutin dan pengobatan” Aku menjelaskan
            Puspa tersenyum, seperti ada sebuah harapan di matanya, namun tiba-tiba mendung menggelayuti “Biayanya pasti sangat mahal” Puspa khawatir
            “Kamu tidak usah memikirkan hal itu, kita bisa menanganinya bersama” aku memberikan solusi
            Puspa menangis lagi dan memelukku “Entah mengapa semenjak kehadiranmu aku jadi sering menangis. Tapi terima kasih kamu memberikan setitik cahaya untukku. Kamu seperti malaikat penolongku” Isak Puspa
            “Kita telah bersahabat semenjak lama, bagaimana mungkin aku berdiam diri menyaksikan sahabatku melewati kesulitannya sendiri” Ku hapus air matanya
            Puspa segera berlari ke Akbar, Ia memeluknya “Nak..kamu akan sembuh,”
            Secara tiba-tiba Akbar membalas pelukan ibundanya, “A..k..b..a…r..s…a…y…a..ng..i…b..u…”  dengan terbata dan kesulitan kalimat yang dinanti itupun keluar juga dari mulut Akbar, kalimat yang telah bertahun-tahun di nantikan Puspa.
            Serta merta semkin terharu Puspa dibuatnya, “Iya..ibu juga sayang sekali sama Akbar” tak hentinya ia menciumi putranya
            Dan aku tak mampu lagi membendung rasa haru menyaksikan kasih sayang seorang ibu pada putranya yang istimewa. Air mata ku pun menetes.
# TAMAT #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar