Laman

Senin, 05 Januari 2015

Hujan dan Kerinduan


            Aku terus berlari,tak kuperdulikan rintik-rintik gerimis yang mulai membasahi. Tak pernah ku mengerti apa yang kurasakan kini, yang ada dalam pandangan dan fikiranku segera menemuinya serta meminta penjelasan padanya.
           Setibanya di tepi danau tempat kami biasa bertemu, aku segera mengatur nafas yang tersengal-sengal, dan Haikal seperti kebiasaannya sudah dengan posisi memunggungi menatap danau serta tangan yang dimasukan dalam saku jaketnya. Aku segera menghampirinya.
            “Haikal” panggilku
            Ia menolehkan pandangan, selalu nampak kaku tanpa ekspresi wajah yang tak bisa kupahami meski kami sudah bersahabat tahunan lamanya.
            “Apa-apaan ini, seminggu lagi kamu menikah dan kamu tidak pernah mengabari aku sebelumnya” Aku langsung mencercanya
            “Maaf” hanya itu yang keluar dari kata-katanya ia menundukan kepala      


            “Sebegitu tidak pentingnya kah aku hingga kamu tidak memberitahuku, kita sudah lama bersahabat bahkan untuk hal seperti ini kamu baru memberitahuku seminggu sebelumnya” aku meluapkan kekesalanku
            Haikal tetap diam, aku melihat sendu di wajahnya. Apakah ia tidak bahagia dengan semua yang akan dijalaninya?
            “Sebelumnya aku sungguh minta maaf tidak memberitahumu jauh-jauh hari. Kesalahan ada padaku, dalam beberapa pekan terakhir kita tidak bertemu itupun kemauanku karena aku ingin menata hatiku” Ia mulai menjelaskan
            Hujan turun semakin deras, entah mengapa kaki kami terpaku tidak beranjak dari tempat semula walau  untuk sekedar mencari tempat berteduh. Tidak lagi ku perdulikan dinginnya angin yang menusuk, aku ingin mendengar penjelasannya.
            “menata hati apa maksudmu?” aku benar-benar bingung dibuatnya
            Hening beberapa saat, kemudian ia mulai bicara lagi saling berlomba dengan gemericik hujan yang semakin deras.
            “ingatkah kamu, hujan selalu mempunyai kenangan untuk kita berdua. Saat-saat dimasa sekolah dulu kita berjalan dan berlari di bawah hujan dan kamu memaki pengendara mobil yang mengguyur kita dengan lumpur hingga seragam kita sangat kotor. Atau saat sepulang dari toko buku payung yang kita kenakan rusak akibat tiupan angin yang begitu kencangnya. Dan kamu selalu tersenyum bahagia saat hujan turun”
            “lalu kenapa dengan semua itu ??” aku mencoba mencerna kata-katanya di balik pertanyaanku
            “Aku mulai mencintai kamu. Aku menyukai senyum merekahmu saat menyentuh rintik hujan, aku suka rambutmu yang basah oleh hujan. Maafkan aku, sudah berulang kali aku mencoba menahan perasaan ini namun aku tidak sanggup. Aku tahu bahwa kamu tidak pernah menganggapku lebih dari sekedar sahabat.”
            Aku terdiam, aku tak mengerti apa yang terjadi pada hatiku. Akupun merasakan kepedihan ini, menahan sendiri rasa ini dan meletakannya di sudut terdalam hatiku. Justru aku yang begitu takut ia menganggapku tak lebih dari sekedar sahabat.
            ‘jika kamu tahu sesungguhnya akupun mencintaimu namun tetap aku tidak bisa menyampaikannya. Aku tidak ingin merusak kebahagiaan yang akan kamu bina nantinya’ hatiku meronta pedih
            “setelah sekian lama waktu yang telah kita lewati bersama, kenapa baru kamu utarakan semua itu sekarang ? ketika kamu sudah mempersiapkan pernikahan dengan orang lain yang bahkan tak pernah kamu ceritakan sebelumnya” aku bertanya parau “iya..aku ingat hanya ada satu sosok yang tak pernah kamu sebutkan namanya, ia yang menjadi pelangi hidupmu, ia yang selalu menjadi inspirasi dari setiap lagumu, ia yang selalu mengusik tidur hadir di mimpi-mimpimu…”
            “Ia yang kuceritakan padamu dulu adalah kamu, sudahlah tidak usah terlalu menanggapi kata-kataku, karena aku sangat menyadari posisiku di hatimu. Aku hanya ingin sekedar kamu tahu.” Ucap Haikal kemudian “Ayo kuantar kamu pulang, kamu semakin kuyup nanti kamu malah sakit” Haikal menstarter sepeda motornya
            Aku menatap punggungnya ‘kamu mungkin tidak menyadari dibawah hujan ini aku menangis untukmu. Sudah ratusan nyanyian hujan, kutitipkan kerinduan yang tidak pernah tersampaikan untukmu. Namun mengapa baru kini kamu sampaikan perasaanmu yang sesungguhnya.’ Hatiku menjerit dalam tangis
            Malam semakin beranjak pekat, aku sudah terbaring dalam kamar tidur yang hangat namun dalam beberapa kali aku hanya berputar mencari posisi ternyaman, mataku belum mampu terpejam. Hatiku sungguh kalut teringat ucapan Haikal siang tadi.
            ‘Apakah mungkin Haikal akan membatalkan pernikahannya jika aku menyampaikan perasaanku padanya ?’ aku merenung.
 ‘Ah..tidak !! itu sama saja aku merusak kebahagiaan dua keluarga yang sudah mempersiapkan segalanya dan undangan pun sudah disebar. Aku tidak boleh egois’ hatiku bertarung
            Aku segera bangkit dari tempat tidur dan mebuka laci mencari-cari lembaran kenangan kebersamaanku dengan Haikal. ‘Tuhan..mengapa aku  tidak pernah menyadarinya, dalam setiap gambar itu menampakan Haikal yang selalu memperhatikanku. Mungkin aku yang salah, tidak pernah peka terhadap sikapnya terhadapku selama ini’
            Pagi mulai menjelang, mentari hari ini bersinar cerah setelah seharian kemarin kota kembang di guyur hujan. Hari ini aku meminta lagi bertemu dengan Haikal di tempat biasanya. Kali ini berbeda, aku tidak lagi telat sebagaimana sebelumnya. Ketika ia datang, aku sudah menunggunya.
            “Najwa” panggilnya menghampiriku
            Aku tersenyum menatapnya, “duduklah” pintaku . Kamipun duduk berdampingan di atas rumput yang masih lembab
            “Haikal..hari ini mungkin adalah pertemuan terakhir kita, sebelum pernikahanmu” ucapku
            “kenapa bicaramu seperti itu??”
            Aku diam beberapa saat “aku di pindah tugaskan ke Makassar” padahal sesungguhnya akulah yang meminta mutasi itu untuk menjauh dari hidupnya
            Haikal terdiam “kapan kamu mulai berangkat ??” Ia nampak tak rela dengan pernyataanku
            Aku berusaha mencairkan suasana “tenang saja aku pasti menghadiri pernikahan sahabatku ini” aku menepuk-nepuk pundaknya “keberangkatanku dua minggu lagi kurang lebih”
            “Apa kamu juga akan mencari cinta pertamamu itu?” pertanyaannya sungguh membuatku terkejut, tak pernah terpikir olehku bahwa ia akan bicara mengenai itu
            Aku tertunduk, menggelengkan kepalaku “dia sudah bahagia dengan hidupnya kini, dan aku tidak akan mengganggunya”
            “Jika kamu mencintai seseorang..nyatakanlah semua, sebelum semua terlambat” ucapannya seakan menyindirku “tak ada yang pernah tahu pada siapa hati akan berlabuh, selama kesempatan masih dapat kamu raih, pergunakanlah sebelum semua sirna” lanjutnya
            “Adakalanya cinta tidak harus dimiliki. Hakikat mencintai itu sendiri adalah saat melihat seseorang yang kamu cintai bahagia” aku menatap Haikal yang tak menyadari pandanganku, ketika ia menolehkan wajahnya, dan mata kami saling bertata aku segera berpaling muka tak ingin ia tahu perasaanku sebenarnya.
            Kebisuan terjadi antara kami, sebelumnya tidak pernah ini terjadi diantara kami.
            “Apakah kamu ingat saat hari ulang tahunmu, dua tahun lalu. Kamu bersikeras ingin ke danau padahal saat itu hujan deras sekali. Alhasil keesokannya kamu jatuh sakit” lanjut Haikal kemudian
            “terus kamu membantu merawatku, menemaniku dan selalu ada disaat aku membutuhkanmu yang ketika itu mamahku sibuk membuat pesanan catering” tambahku, tersenyum mengenang segala perhatian yang dicurahkannya untukku
Haikal pun turut tersenyum, di dalam hati aku berbisik ‘saat itulah aku mulai menyadari ada perasaan lain di hatiku. Ada inginku lebih dari sekedar sahabat denganmu tapi kamu tak pernah memberikan secara nyata sinyal-sinyal itu’
            Lembayung senja tengah singgah diperaduannya, Haikal mengantarkanku kembali ke rumah. Ada perasaan tak rela saat menatap kepergiannya.
            Hari silih berganti, akad suci itupun sudah di ikrarkan Haikal untuk seseorang yang kini telah sah menjadi istrinya. Di tengah para tamu yang hadir memanjatkan doa, aku pun turut serta memanjatkan harapan kebahagian untuk mereka.
            Ketika saat perjamuan makan, aku menghampiri dua sejoli yang berbahagia itu. Aku mengucapkan selamat kepada mereka dan mengutarkan perpisahan pada Haikal.
            “Aku sekalian ingin pamit, keberangkatanku di percepat. Siang ini adalah jadwal penerbanganku.” Aku berpamitan
            “Apa tidak bisa diundur ? aku jadi tidak bisa mengantarmu ?”
            Aku menggeleng, tersenyum “tidak usah..jalani saja resepsimu hingga selesai” ucapku
            “Kamu hati-hati ya disana.Jaga kesehatanmu, jangan sering main hujan-hujanan” Haikal menasehatiku
            “Kamu tidak perlu terlalu khawatir, sekarang sudah ada yang harus lebih kamu perhatikan” Aku menggoda Haikal dengan melirikan pandangan ke istri yang di nikahinya dan ia hanya tersenyum
            Gerimis mengiringi langkahku melepas segala kenangan dan meninggalkan kota kelahiranku.
             Kini, setelah setengah tahun berlalu aku menetap di sebrang pulau. Aku baru sempat mengunjungi pantai Losari yang menawan indahnya, tempat wisata andalan bagi kota bugis. Ketika sedang asyiknya menikmati pemandanga alam di hadapanku ini, hujan pun turun jua setelah sejak pagi tadi hanya awan berselimut mendung.
            Aku mengulurkan tangan menyentuh dan merasakan setiap rinainya yang turun, aroma baunya yang khas dari tempatku berteduh dan tidak lagi bermain atau berlari dibawah hujan sebagaimana dulu bersama Haikal.
            “Hujan…selalu mengingatkan aku tentangmu, tentang waktu yang pernah kita ukir bersama. Berbahagialah engkau disana bersama pilihanmu yang akan menemani sisa hidupmu, aku akan selalu mendoakanmu dari jauh. Sebagai sahabat dengan cinta yang tak pernah terungkap” aku bergumam pelan menikmati rintik hujan yang menyentuh jemariku.
            ‘Hujan ini tak lagi sama, namun kerinduan itu tetap ada’
# TAMAT #

2 komentar:

  1. hehe cieee yg rindu sabar y mbak hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. ihh..itu kan cerpen, tapi kalaua sampai meyentuh aihhh..berhasil..berhasil :D

      Hapus