Selamat Datang Sobat, Jangan Lupa Tinggalkan Jejak ya... ^_^
Monarch Butterfly 2

Jumat, 26 April 2013

Hati ingin meraih bintang, apa daya tangan tak sampai

         
         Di suatu hari saat baru saja ku langkahkan kaki menuruni angkutan umum, tiba-tiba tanpa kusadari sebuah sepeda motor menghantamku dengan seketika. Aku tak ingat lagi apa yang terjadi kemudian, ketika ku membuka mata yang aku lihat di sekelilingku adalah dinding bercat putih bersih dan aroma obat yang cukup menusuk.
            “Arini…syukurlah kamu sadar.” ucap mamahku tiba-tiba
            Aku yang masih bingung berujar “Arini ada dimana Mah?”
            “Kamu di rumah sakit, sudah dua hari tidak sadarkan diri, mamah takut sekali.” Jawab mamah tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya.
            “Arini Ga apa-apa Mah…” Aku mencoba menenangkan “Mah, Arini ingin ke toilet,”aku meminta izin
            “Sini mamah bantu”
            Aku tersenyum “Ih…mamah, Arini khan bukan anak kecil, Arini bisa sendiri” Aku mencoba bergerak utk turun dari ranjang, namun tiba-tiba aku terkejut, aku tak bisa merasakan apapun pada kaki ku. Mamah terdiam, wajahnya bertambah sedih
            “Mah…Arini kenapa?” Aku mulai takut sekali          
      “Menurut rongten dokter, saraf kakimu putus sehingga kamu akan lumpuh sayang” Mamah menangis memeluk ku yang terdiam tak percaya
            Beberapa hari kemudian, saat aku sedang bergegas marapihkan barang-barangku karena dibolehkan untuk pulang dari rumah sakit, seorang pria datang ke kamar rawatku. Tuhan…aku tak percaya dengan penglihatanku saaat ini. Jika aku bermimpi ingin rasanya aku tak segera terbangun. Laki-laki yang begitu sangat aku merindukannya, seorang laki-laki dimana sepuluh tahun ku pendam rasa ini untuknya, kini berada di hadapanku.
            “Bagaimana keadaan kamu?” tanyanya
            Aku yang masih tak percaya dengan ini hanya diam membisu
            “Aku minta maaf, sunugguh sangat menyesal…aku benar-benar tidak sengaja. Maafin aku Arini” Lanjutnya dia menggenggam tanganku, tapi kenapa dia harus minta maaf, kesalahan apa yang dilakukannya. Aku terus bertanya dalam hati
            “Arini kamu layak membenci aku…aku berjanji akan menebus kesalahanku ini. Aku akan membantu merawatmu sampai kamu bisa berjalan lagi…aku benar-benar tidak sengaja saat itu, aku minta maaf.” Sesalnya menundukan kepala menggenggam jemariku
            “Tuhan…benarkah dia orang yang sangat aku cintai ternyata yang telah membuatku lumpuh seperti saat ini??” bisikku dalam hati, perlahan aku lepaskan genggaman tangannya
            “Sudahlah Adit, Aku sudah memaafkannya”
            Adit tersenyum, sebuah senyum entah sudah berapa lama hanya bisa kulihat dalam kenangan.
            “Hari ini kamu sudah boleh pulang khan? Kelihatannya cuaca cukup cerah. Sebelum pulang bagaimana jika kita jalan-jalan dulu di taman rumah sakit ini?” tawarnya
            Aku tersenyum mengangguk setuju
            Adit mendorong kursi rodaku berkeliling taman kecil di rumah sakit ini. Dalam benak ku bertarung, apakah aku harus senang atau justru sedih???
            “Lama ya..kita tidak bertemu…aku dengar kamu sudah merampungkan kuliah?” Ucapnya membuyarkan lamunanku
            “Alhamdulillah…oh, ya, kamu apa kabar? dengar-dengar kamu berhasil masuk klub sepak bola nasional ya?” tanyaku balik
            Adit tersenyum “Iya kamu benar…..”
            “Wuah…kamu berhasil meraih mimpimu dong menjadi pemain sepak bola !!! Kamu juga tak kalah hebat” Puji ku
            Adit tertawa “Oh, Tuhan…ingin rasanya waktu terhenti saat ini melihat tawanya yang begitu lepas saat bersamaku” harapku yang ku tahu tak akan mungkin terjadi.
            Tak pernah kubayangkan sebelumnya akan berbincang lama seperti ini, setelah sekian lama tak ada perjumpaan, tak ada sapa di antara kami. Masih terekam jelas dalam ingatan walau aku sendiri tak tahu pasti benarkah itu jawabannya.
            Aku, Arini Pramuswari selalu tersudut sendiri. Tak ada teman, tak ada tawa. Sifatku yang terlalu pendiam menbuatku sulit untuk beradaptasi dengan teman lain, bahkan guru-guru pun meragukan kemampuan akademik ku. Namun, saat pertengahan semester Adit kecil yang berseragam putih-merah datang memberikan setitik warna dalam hidupku yang kelabu. Ia duduk di sampingku dan ia berhasil membuat aku tersenyum dengan candanya. Secara perlahan aku bisa beradaptasi, Ia pun selalu mengikut sertakan aku saat berbincang dengan teman lainnya sehingga aku merasa tidak terabaikan, begitu pula dalam akademik, kemampuanku pun semakin terlihat hingga akhirnya aku bisa menduduki peringkat lima besar saat itu.
            Namun menjelang semester akhir, Adit pergi dari sampingku. Ia pindah sekolah karena suatu hal, dan saat itulah aku merasakan kehilangan tanpa dia di sampingku. Aku mulai menyadari bahwa aku mulai menyukainya, Tuhan ini terlalu dini. Ku berusaha untuk menepis rasa ini namun yang ada perasaan ini semakin berkembang padanya.
            Meskipun kami tidak lagi satu sekolah, hubungan komunikasi kami masih berjalan baik, hingga pada suatu hari entah darimana ia tahu perihal perasaanku padanya dan kemudian ia mulai menghindariku. Rasanya memang menyakitkan, akupun berusaha utk melupakannya tapi aku tetap tak mampu hingga kini sepuluh tahun perasaan itu masih bersemayam di hatiku.
            “Arini…mamahmu sudah datang. Sepertinya taksi yang akan mengantarmu juga sudah ada” ucapan Adit kembali membuyarkan lamunanku
            “Iya…Ayo ke sana,” jawabku
            Adit mendorong kursi rodaku hingga di depan taksi dan mamah sudah menunggu di sana.
            “Arini bolehkan setiap pulang kuliah dan jika tidak ada latihan aku menemani kamu?” tanyanya
            Aku menggangguk senang “Tentu saja !”
            Waktu kian bergulir, bulan pun berganti bilangan . Adit sungguh menepati janjinya, hampir setiap hari ia datang menemani. Setiap pulang kuliah atau jika tidak ada latihan. Kedekatan itu semakin jelas, haruskah aku utarakan sekarang tentang perasaanku yang terpendam selama sepuluh tahun ini. Ya, sepuluh tahun sebuah angka dimana merupakan sepuluh kali lipat dari angka satu, dua kali lipat dari angka lima dan tentunya harus melewati angka Sembilan. Bukan waktu yang sebentar khan?. Tapi aku semakin tidak percaya diri dengan keadaanku seperti saat ini. Apa dia mau berkasihkan seseorang  yang bahkan untuk berjalan pun tak mampu ?
            Di suatu senja, Adit mengajak berkeliling taman tak jauh dari komplek perumahan. Saat kami sedang asyik bercengkerama tiba-tiba ponsel Adit berdering, dengan sigap ia menjawab panggilan itu dengan menjauhi aku terlebih dahulu.
            Namun, alangkah terkejutnya aku saat tanpa sengaja ku dengar perbincangannya di ponsel.
            “Iya…sayang !! tidak ada apa-apa antara aku dan arini, aku cuma kasihan sama dia. Aku hanya ingin menebus kesalahanku padanya. Nanti jika dia sembuh dan dapat berjalan, aku tidak akan menemuinya lagi.”
            Bak disambar halilintar, dengan mudahnya dia semaikan kembali benih-benih perasaanku padanya namun pada akhirnya dengan mudah ia patahkan kembali. Dengan air mata yang tak berhenti mengalir aku mencoba berlari meski terasa sulit dengan tongkat penyanggah. Yang terbesit dalam otakku adalah segera menjauhinya.
            Sejak saat itu  tak ingin lagi aku menemuinya. Kadang aku bersyukur atas anugrah cinta yang di titipkan Sang Ilahi di hatiku, namun di lain sisi akupun membenci perasaanku yang terpaut pada orang yang salah, orang yang bahkan tak pernah melihatku. Dia itu seperti bintang, yang hanya bisa ku tatap tanpa bisa aku raih. Aku telah keliru mengharapkan bintang seperti dia, cahayanya terlalu menyilaukan pandangan. Aku sadar bahwa aku tak akan pernah memilikinya.
            Beberapa bulan dari saat itu, setelah aku tak pernah lagi merespon setiap sapaannya baik melalu panggilan telepon atau pesan singkat. Di suatu siang, tiba-tiba saja tubuhku menggigil hebat, di sertai demam tinggi, terkadang dadaku terasa sesak seperti sulit untuk bernafas, gejala lainnya pun hanya seperti influenza biasa hanya bedanya ketika terbatuk sering kali mengeluarkan darah. Wajahpun semakin memucat. Mamah yang mulai khawatir dengan kondisiku mengajak untuk berobat, dan harus ku dengar lagi sebuah keterangan yang mengejutkan. Menurut diagnosa dokter bahwa aku terserang pneumonia atau infeksi paru, dan sayangnya yang kuderita saat ini sudah cukup akut. Kemungkinan untuk sembuh pun hanya 25%, ingin rasanya aku menangis tapi mungkin air mata ini sudah mengering. Dalam setiap waktu, hanya mamah yang mampu  membuat ku kuat manghadapi segala cobaan ini.
            Satu minggu sudah, akhirnya aku bisa kembali ke rumah semenjak di opname setelah pemerikasaan saat itu. Aku bersikeras ingin pulang, walaupun dokter belum mengizinkan, hingga akhirnya dokter menyerah karena sikap keras kepalaku. Ia mengizikan aku pulang dengan syarat aku harus mengikuti anjuran darinya untuk menjaga kestabilan tubuhku.
            Setiap malam dari balik jendela kamarku, aku sangat suka menatap bintang berkerlipan di langit kelam.
            “Tuhan…aku tak pernah tahu kapan malaikat-MU akan menjemputku, aku ingin sebelum saat itu tiba izinkan aku untuk bersama bintangku, yakinkan hatinya untuk bisa mencintaiku walau hanya dalam hitungan jam..!” harapku, tetap tak lepas pandangan dari bintang di angkasa sana.
            Esoknya aku memutuskan untuk menghubungi Adit dan bertemu dengannya. Aku bersyukur ia masih bersedia untuk menemui aku di taman,tempat dimana kami dalam beberapa hari lalu pernah menghabiskan waktu bersama.
            “Adit…aku ingin bicara sesuatu sama kamu, tolong dengarkan baik-baik !” pintaku
            Adit mulai serius, ia memandang dalam ke mataku
            “Adit, sejak sepuluh tahun lalu aku sudah mencintaimu…awalnya aku berfikir itu hanya perasaan suka biasa. Cinta monyet masa anak-anak ! Tapi, jujur aku sendiri tak memahami..sejak saat itu aku tak bisa menghapus kamu dari pikiran dan hatiku ! terasa sulit bagiku untuk membuka hati pada yang lain.” Ungkapku gamblang, Adit hanya terdiam. Nampak jelas ia cukup terkejut dengan pernyataanku hingga membuatnya tak mampu berkata-kata.
            “Aku tidak berharap banyak untuk menjadi kekasihmu…aku hanya ingin kamu tahu bahwa ada seseorang yang merasa kamu sangat berarti ! Kelak, jika aku harus pergi dan tak akan pernah kembali setidaknya aku bahagia bahwa aku sudah mengungkap isi hatiku dan kamu harus berjanji, untuk bahagia bersama orang yang kamu cintai.” Lanjutku berusaha untuk tetap tersenyum di hadapannya.
            “Arini kenapa bicara seperti itu ? Memangnya kamu mau pergi kemana ?? Arini aku…” aku segera memotong
            “Sudahlah…kelak suatu hari kamu akan mengetahuinya.” Itulah kalimat terakhir yang aku katakana padanyasebelum berlalu dari hadapannya.
            Malam ini aku kembali menatap bintang, dalam hati ku berkata “Tuhan..masih bisakah esok akau menatap matahari, masih sanggupkah aku melihat bintang dan bulan yang menemani malamku seperti saat ini. Jika memang telah habis waktuku, aku titip mereka yang ku sayang, bahagiakanlah mereka untuk ku…” Aku menutup jendela kamarku, berusaha untuk memejamkan mata, terkadang aku merasa takut sekali untuk tertidur, karena sang waktu bisa kapan saja membuat aku tak lagi terbagun dari tidur panjangku.

* TAMAT *

Tidak ada komentar: